Sabtu, 02 Oktober 2010

Filsafat Pendidikan

A.   Fenomana Pendidikan
Supaya pendidikan bagian dari hidup kita sehari-hari, pengertian pendidikan jangan yang sulit, tetpi yang sesuai dengan pergaulan hidup kita sehari-hari.  Kalau pendidikan diartikan membantu mendewasakan anak, terbayang nbantuan apa yang harus diberikan kepada anak.  Bila bantuan itu memerlukan orang lain, pendidikan terbayang kompleks, bila dilakukan seorang diri, melaikan dilakukan secara kolaboratif kolegial atau kooperatif.  Kalau pendidikan adalah transfer pengetahuan atau pepristiwa nilai-nilai/norma, terbayang bagi semua orang akan sulit mentransfer pengetahuan kepada anak didik.  Dengan demikian pendidikan harus dilakukan oleh orang yang terdidik, baahkan harus lulus sekolah (guru).  Pendidikan tidak bias dilakukan oleh orang biasa (tidak bersekolah).
Kalau pendidikan diartikan pelatihan atau membiasakan anak didik, setiap saat kita harus memberikan contoh yang menganjurkannya agar contoh itu dilakukan pengulangan terus-menerus.  Kalau pendidikan hendak dijadikan bagian dari kehidupan sehari-hari diparlukan pengertian pendidikan yang liputannya menyangkut segala bidang kehidupan.  Setidaknya, pendidikan memberikan pengalamn khusus (bermakna).  Pengalaman pendidikan menorehkan/memberikan kesan  di hati karena terangsang oleh kegiatan/gejala yang terjadi disekelilingnya.  Yang teransang tersebut, terutama hati, yang sebenarnya tidak hanya hati, melainka juga perasaan, pemikiran, sikap, keinginan, kepercayaan pengetahuan/akal, ingatan, badan, psikis dan lain-lain.

1.     Kesadaran norma
Pendidikan menunjukan pada kegiatan peransangan.  Pelaku kegiatan ini lazim disebut ayah  atau ibu, orang tua, guru, fasililator, tutor, pelatih/instruktur, widyaswara, nara sumber, mediator, termasuk benda/alat yang diciptakan/media pendidikan.  Adapun anak didik menunjukan kepada peserta yang terlibat dalam kegiatan pendidikan dan harus merasa memperoleh ransangan.   Pelaku kegiatan ini disebut anak didik, murid, siswa, mahasiswa, pelajar, warga pelajar, pemirsa, pembaca, otodidak dan lain-lain.
Kedua insan (pendidik dan anak didik) yang terlihat sebagaiman uaraian di atas, memerlukan pemusatan atau perhatian bersama­­­.  Bagi pendidikan memerlukan sesuatu kemampuan untuk merangsang atau menciptakan iklim yang merangsang.  Bagi anak didik diperlukan kecerdasan dan ketangkasan untuk menangkap rangsangan. Pertautan keduanya akan membentuk pengalaman yang menggetarkan jiwa (karena kesadaran norma). Terjadinya rangsangan dari kegiatan pendidik dan respons dari anak didik yang menggetarkan jiwanya karena masing-masing saling menyadari (norma). Pendidik melakukan aktivitas merangsang anak didik yang mau dan dapat di rangsang (anak normal). Anak didik juga memerlukan kesediaan alat indera, akal/jiwa dan tubuh untuk menunjukan perhatian atau menyediakan diri untuk di rangsang. karena itu, kesadaran yang di tafsirkan berbeda. Rangsangan pendidik dapat di tafsir kan oleh anak didik sebagai suatu pemaksaan. Ketidaksediaan anak didik di anggap sebagai suatu pembangkangan.
Pengalaman akan bermakna manakala terjadi pertautan kesadaran dari keduanya. Perlu di ingat bahwa tidak semua pendidikan bernentuk perntah dan larangan atau penggunaan media/alat, bahkan pelaksana pendidikan beranggapan bila tidak mahal, bila tidak memiliki gedung, tidak favorit dan elit, hal itu merupakan bentuk pendidikan yang rendahan. Padahal walaupun tidak mahal, pendidikan tanpa/ minim biaya pun asal memenuhi tujuannya atau membangkitkan kesadaran bisa saja baik dan bermutu.
2.     Kata Hati
Pendidikan memerlukan pencurahan perhatian segala daya insani, (akal,alat indera, keterampilan, perasaan,dll), tetapi intinya harus menggetarkan harus menggetarkan hati (sadar norma-norma). Suatu jenis kegiatan pendidikan harus mampu merangsang anak didik seperti riang gembira, haru, syahdu, ngeri, patriot, serta sikap dan keterlibatan perasaan/emosi lain yang sukar dinyatakan dengan kata-kata. Bisa jadi kata hati ini bergetar lantaran iklim lingkungan yang kondusif, misalnya pada sekolah yang berlandaskan agama Islam, lalu lingkungan , peralatan dan pakaian insan sekolah yang bernuansa islami, maka anak didik tergetar anak didik tergetar hatinya terutama nuansa islami.
Dengan kata lain, kata hati bisa dipengaruhi oleh apa saja yang bisa kita cipta, kita adakan, kita cari dan kita beli, kalau pendidik ayah/ibu atau guru membosankan dan suasana/iklim terasa hambar, kita bisa mencari narasumber lain, seperti kiai atau ustad, bila anak didik kurang bergairah dan tegang, kita bisa refresing ke tempat yang sejuk dan nyaman.
Jadi, jelas bahwa pendidikan dapat membina kata hati, bahkan watak. Karena itu, pendidikan mempunyai peranan yang sangat besar dalam pembinaan kesehatan jiwa seseorang selama kita bijaksana memilih jenis pendidikan yang sangat di perlukan, terlebih dalam suasana seperti ini, banyak ragam lembaga pendidikan (modern dan canggih) dengan segala bujukannya, padahal intinya hanya menguntungkan lembaga pendidikan sendiri. Orang yang termakan bujukan lembaga yang menyiapkan manusia pandai saja, tetapi tidak bermoral dan tidak bertanggung jawab akan merugikan dirinya sendiri dan lingkungannya. Ia, akan berkonflik dengan lingkungan, sehingga kehidupaannya akan sukar. Ia, mungkin akan menjadi orang yang jahat atau sakit jiwanya. Kepandaian tidak selalu berarti kedewasaan
3.     Tujuan
Untuk mencapai patokan pendidikan di perlukan tujuan dan anak didik diharapkan menangkap tujuan tersebut, sering tujuan itu berbentuk ungkapan jiwa atau gagasan/renungan, akan tetapi belum tentu tujuan itu akan tercapai, terkadang menjadi tidak jelas, kabur dan tidak dapat ditangkap anak didik. Bagaimanapun tujuan itu bersifat mengikat, member makna, member arah dan member makna pada seluruh kegiatan pendidikan yang sistemik, karena itu, anak didik dengan kesadaran norma akan mampu menangkap tujuan. Pendidikan bukan akumulasi/ kumpulan kegiatan yang di rangkai sembarangan, melainkan kegiatan yang memiliki struktur/bangunan dan isi/substansi.
B.     Pendekatan Filsafat Pendidikan
1.     Hubungan antara filsafat pendidikan
Hubungan antara filsafat dan pendidikan sangat erat, terutama dalam hal: (a) filsafat mengajukan pertanyaan filosofis yang memikirkan faktor realita dan mengolah pengalaman praktik pendidikan, (b) filsafat secara spekulatif menetapkan hakikat dunia dan hidup yang dijadikan landasan untuk menyusun konsep tujuan dan metode pendidikan serta pengalaman pendidikan untuk menuntun perkembangan anak.
Filsafat berusaha mengadakan studi mengenai hakikat segala sesuatu, yaitu mempelajari yag paling utama dari segala sesuatu itu. Oleh karena itu, filsafat pendidikan dalam problematiknya menggunakan sebagai dasar/landasan sebagaimana yang di capai oleh unsure filsafat. Dalam proses pendidikan, diperlukan pendirian/keyakinan yang tepat mengenai pengetahuan, dan pandangan mengenai nilai sehingga, filsafat pendidikan sama dengan teori umum pendidikan.

2.     Usaha-usaha pendekatan filsafat pendidikan.
a.     Pendekatan filsafat pendidikan dilakukan dengan berbagai cara. Diantaranya dengan usaha pegelompokan. Pengelompokan secara klasik, yaitu: (a) analisis problem, (b) sistem formal, (c) keyakinan. Analisis problem adalah proses aktif memecahkan masalah pendidikan melalui tinjauan filsafat. Analisis sistem formal  melalui tiga langkah, yaitu: mengidentifikasi/pengenalan sistem filosofi, menyajikan jejak filosofnya/tokoh yang bersangkutan dan memaparkan implikasi filsafat tersebut ke dalam pendidikan.
b.    Pendekatan yang dilakukan Theodore Brameld di bagi ke dalam empat kelompok, yaitu: (a) kelompok filsafat klasik (Plato, Aristoteles, Thomas Aquinas), (b) kelompok filsafat modern (realisme, idealisme), (c) pragmatism, (d) kelompok problematik social (Karl Marx, Karl Mannhein)
c.     Pendekatan lain yang dilakukan oleh William F. O ‘neil adalah dengan cara menggagas istilah filsafat pendidikan lebih tradisional dari pada ideologi.
Pendekatan filsafat terhadap pendidikan dapat dilakukan berdasarkan karakter berfikir filsafat. Dengan cara tersebut diperoleh tiga pendekatan, yaitu sinoptik, normatif dan kritis radikal. Pertama pendekatan sinoptik adalah pandangan yang terpadu (integralistik). Memandang problematika secara menyeluruh sesuai dengan sifat berfikir filsafat yang komprehensif, di samping itu melakukan renungan filsafat secara spekilatif tentang persoalan mendasar pendidikan, yaitu berpikir yang dalam dan logis dengan pertimbangan yang disusun berdasarkan pola piker yang ketat mengenai persoalan mendasar yang dialami pendidikan. Kedua, pendekatan normatif memandang masalah pendidikan dari sudut yang seharusnya terjadi. Artinya, menunjukan arah yang terbaik dalam memecahkan masalah-masalah pendidikan. Memikirkan secara mendalam norma-norma yang seharusnya di capai oleh pendidikan.
3.  Pendidikan
Eksistensialisme sebagai filsafat, sangat menekan individu dualitas dan pemenuhan diri secara pribadi.  Setiap individu dipandang sebagai makhluk unik, dan secara unik pula dia bertanggung jawab terhadap nasibnya.  Dalam hubungan dengan pendidikan, Sikun Pribadi (1971) mengemukakan bahwa eksistensialisme hubungan erat sekali dengan pendidikan, karena kedua bersinggungan satu dengan yang lainnya pada maslah-maslah yang sama, yaitu manusia, hidup, hubungan natara manusia hak pribadi dan kebebasan (kemerdekaan).  Pusat pembicaraan eksistensialisme adalah “keberadaan” manusia, sedangkan pendidikan hanya dilakukan oleh manusia.
4.  Tujuan pendidikan
Tujuan pendidikan adalah mendorong setiap individu agar mampu mengembangkan semua potensi untuk pemenuhan diri.  Setiap individu memiliki kebutuhan dan perhatian yang spesifik berkaitann dengan pemenuhan dirinya, sehingga dengan menetukan kurikulum tidak ada kurikulum yang pasti dan ditentukan berlaku secara umum
5.  Kurikulum
Kaum eksistensialismeberdasarkan pada apakahitu berkontribusi pada pencarian individuakan makna dan muncul dalam suatu tingkat kepekaan personal yang disebut Greene “kebangktan yang luas” kurikulum ideal adalah kurikulum yang memberikan kepada  siswa kebebasan individu yang luas dan mensyaratkan mereka untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan, melaksanakan pencarian-pencairan mereka sendiri, dann menarik kesimpulan-kesimpulan merak sendiri.
Menurut pandangan eksistensialisme, tidak ada satu mata pelajaran tertentu yang lebih penting dari pada  yang lainnya.  Mata pelajaran merupakan materi dimana individu akan dapat menemukan dirinya dan kesadaran akan dunianya.  Mata pelajaran yang dapat memenuhi tuntuyan di atas adalah IPA, Sejarah, sastra, filsafat dan seni.  Bagi beberapa anak, pelajaran yang dapat membantu untuk memenemukan dirinya adalah IPA, namun bagi yang lainnya mungkin saja bias sejarah, filsafat, sastra dan sebagainya.
Dengan mata-mata pelajaran tersebut, siswa akan berkenalan dengan pandangan dan wawasan para penulis dan pemikiran termasyur, memahami hakikat ,anusia di dunia, mamahami kebenaran dan kesalahan, kekuasaan, konflik, penderitaan dan mati. Kesemuanya itu merupakan tema-tema yang akan melibatkan siswa baik intelektual maupun emosional.Sebagai contoh kaum eksistensialis malihat sejarah sebagai suatu perjuangan manusia mencapai kebebasan. Siswa harus melibatkan dirinya dalam periode apapun yang sedang ia pelajarinya. Sejarah yang ia pelajari harus dapat membangktkan dan perasaan, serta menjadi bagian dari dirinya.
Kurikulum esksistensialisme memberikan perhatian yang besar terhadap humaniora dan seni. Karena kedua materi tersebut diperlukan agar individu dapat mengadakan intropeksi dan mengenalkan gambatran dirinya. Pelajar harus didorong untuk melakukan kegiatan yang dapat mengembangkan keterampilan yang dibutuhkan serta memperoleh pengetahuan yang diharapkan. Hal tersebut seperti yang pernah dikemukakan  oleh Elis (1981: 95):
“The humanities and arts are ofter viewed as appropriate subject areas which the necessary introspection and reflation. Stidents are encouraged to pursue projects that will help them develop needed skill and requisite knowledge”
Pelajar secara perorangan harus menggunakan pengalaman-pengalaman, lapangan mata pelajaran, dan keterampilan intelektual untuk mencapai pemenuhan diri, dan lebih menekankan pada berpikir reflektif. Sekolah merupakan tempat untuk hidup dan memilih pengalaman-pengalaman. Eksistensialisme menolak apa yang disebut penonton teori [engetahuan. Oleh karena itu sekolah harus mencoba membawa siswa ke dalam hidup yang sebenarnya.

6.  Proses belajar mengajar
Menurut Kneller (1971) konsep belajar mengajar eksistensialisme dapatdiaplikasikan dari pandangan Martin Buber tentang “dialog”. Dialog merupakan percakapan antara pribadi dengan pribadi, di mana setiap pribadi merupakan subjek bagi u\yang lainnya, dan merupakan antara “aku” dan “engkau” (Tuhan). Sedangkan lawan dari dialog adalah “paksaan” dimana seseorang memaksakan kehendaknya kepada orang lain sebagai objek.
Meneurut Buber kebanyakan proses pendidikan merupakan paksaan. Anak dipaksa menyerah kepada kehendak guru, atau pada pengetahuan yang tidak fleksibel, di mana guru menjadi penguasanya.
Selanjtnya beber mengemukakan bahwa guru hendaknya tidak boleh disamakan dengan seorang instruktur, maka ia hanya akan merupakan perantara yang sederhana antara materi pelajaran dengan siswa. Seandainya guru dianggap seorang instruktur, ia akan turun martabatnya, sehingga ia hanya dianggap sebagai alat untuk mentransfer pengetahuan, dan siswa akan menjadi hasil dari transfer tersebut. Pengetahuan akan manguasai manusia, sehingga akan menjadi alat dan produk dari pengetahuan tersebut.
Dalam prpses belajar mengajar pengetahuan tidak dilimpahkan, melainkan ditawarkan. Untuk menjadikan hubungan antara guru dengan siswa sebagai suatu dialog maka pengetahuan yang akan diberikan kepada siswa harus menjadi bagian dari pengalaman pribadi guru itu sendiri, sehingga guru akan berjumpa dengan siswa sebagai pertwemuan antara pribadi dengan pribadi. Pengetahuan yang ditwarkan guru tidak merupakan sesuatu yang diberikan kepada siswa yang tidak dikuasainya, melainkan merupakan sesuatu aspek yang telah menjadi miliknya sendiri.

 PENUTUP
Filsafat pendidikan juga secara vital berhubungan dengan pengembangan semua aspek pengajaran. Dengan menempatkan filsafat pendidikan pada tataran praktis, para guru dapat menemukan berbagai pemecahan pada banyak permasalahan pendidikan. Lima tujuan filsafat pendidikan dapat mengklarifikasi bagaimana dapat berkontribusi pada pemecahan – pemecahan tersebut:
a.      Filsafat pendidikan terkait dengan peletakan suatu perencanaan, apa yang dianggap sebagi pendidikan terbaik secara mutlak.
b.      Filsafat pendidikan berusaha memberikan arah dengan merujuk pada macam pendidikan yang terbaik dalam suatu konteks politik, social dan ekonomi.
c.      Filsafat pendidikan dipenuhi dengan koreksi pelanggaran – pelanggaran prinsip dan kebijakan pendidikan.
d.      Filsafat pendidikan memusatkan perhatian pada isu – isu dalam kebijakan dan praktek pendidikan yang mensyaratkan resolusi, baik dengan penelitian empiris ataupun pemerikasaan ulang rasional.
e.      Filsafat pendidikan melaksanakan suatu inkuiri dalam keseluruhan urusan pendidiakn dengan suatu pandangan terhadap penilaian, pembenaran, dan pembauran sekumpulan pengalaman yang penting untuk pembelajaran yang tinggi (power 1982, 15 – 16)
Terdapat suatu hubungan yang kuat antara perilaku seorang guru demngan keyakinannya mengenai pengajaran dan pembelajaran, siswa, pengetahuan, dan apa yang bermanfaat untuk diketahui. Terlepas dimana seseorang berdiri berkenaan dengan kelima dimensi pengajaran tersebut, guru harus tahu perlunya merefleksikan (memikirkan) secara berkelanjutan pada apa yang ia sangat yakini dan kenapa ia meyakininya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar